Sinopsis :
Semua berawal ketika mereka iseng-iseng adu nyali di sebuah rumah angker. Tanpa mereka tahu, petaka sudah menunggu mereka di dalam sana. Apakah mereka bisa selamat atau malah berakhir tragis?
Penulis Cerita : Michan Toby
SEMUA PART TERSEDIA
Hari sudah beranjak malam saat Mas Aji mengantarkanku pulang. Kulangkahkan kakiku masuk kedalam rumah dengan sedikit terheran. Lampu yg telah menyala dan pintu rumah yg tak terkunci. Mungkinkah ayah sudah pulang dari kota. Tumben, ia tak memberitahuku. Biasanya beliau pulang hanya seminggu sekali pas akhir pekan. Tapi syukurlah, jika memang begitu. Ntah kenapa aku sangat merindukannya hari ini. Aku ingin memeluknya dan mencium aroma tubuhnya, untuk melepaskan semua beban dan rasa takut yg menyergap.
Mataku membelalak saat Pandanganku langsung jatuh pada sesosok perempuan yg duduk di atas sofa. Ia duduk tak jauh dari tempatku berdiri.
"R-ri-da! Kenapa k-kamu bisa masuk?" Bibirku terbata-bata mengucapkan kalimat itu.
Ia berdiri dan berjalan ke arahku. "Tidak kah kau merindukanku??"
"A-a.. ku," otakku memerintahkan tubuhku bergerak mundur. Ini berbahaya! Aku harus lari. Sesuai perkiraan Tantri, Rida menemuiku. Sial, kukira tidak akan secepat ini.
Braak!
Lengannya terlebih dahulu menutup daun pintu yg sedikit terbuka dan menguncinya. Tempat yg menjadi satu-satunya untuk keluar dari situasi ini.
"Kamu tidak akan bisa lari. Malam ini kita akan bermain-main," ucapnya.
"Tapi jika kamu tidak mau," Ia menggantung kalimatnya. lalu mengeluarkan sebilah pisau dari belakang tubuhnya. Pisau itu begitu mengkilat tajam, membuatku bergindik ngeri.
"Terpaksa kita akhiri saja langsung permainan ini," gumamnya seraya mengacungkan sebilah pisau di depan wajahku.
Aku merasa de javu. Situasi ini pernah ku alami yg kukirs itu adalah mimpi. Apakah pisau itu akan melayang di depan mataka. Astaga! "S-sadarlah Da. A-ku ini temanmu" ucapku tergagap.
"Apa kau takut?" Ia mengejekku dengan seringaiannya. "Tenanglah! Aku hanya ingin bersenang-senang sedikit. Oleh sebab itu, Lari dan bersembunyilah,"
Tempat ini sangat gelap dan pengap. Aku tidak tahu tempat ini aman atau tidak. Yg ku tahu sekarang aku berada dalam bahaya. Nyawaku terancam oleh temanku sendiri. Setan itu merasukinya dan membuatnya berubah 180 derajat. Ia seperti manusia yg tak punya hati dan haus akan darah.
Ceklek...
Telingaku menangkap suara pintu kamar yg terbuka. Derap langkah kaki begitu terdengar jelas. Aku coba mengintip sedikit di balik pintu lemari. Dapat kulihat Ia berjalan dan memeriksa setiap sudut ruangan ini .
"Dimanapun kau bersembunyi. Aku pasti akan menemukanmu" Ia mengucapkannya begitu tenang namun begitu menakutkan untukku Kulihat ia memeriksaku di kolong ranjang, kamar mandi, kemudian dia memeriksa dibalik tirai kamar. .
Aku yg bersembunyi di balik lemari begitu tegang. Jika ia menemukanku matilah aku. Kudengar suara derap langkah kakinya yg berjalan menuju persembunyianku. Derap langkah kaki itu semakin mendekat. Dekat dan semakin dekat! Membuat jantungku rasanya mau copot dari tempatnya. Apakah aku akan mati hari ini? Jika umurku sampai disini. Itu artinya, Tita, Ibu, aku akan segera menyusul kalian.
Krieeet.
Deritan pintu lemari membuatku sangat ketakutan dan gugup. Keringat sudah bercucuran memenuhi wajah. Sedikit lagi! Sedikit lagi, ia akan menemukanku dan menghabisiku dengan pisau yg ada dalam genggamannya. Mataku terpejam erat. 'Tuhan! Tuhan tolong aku'. Doa itu ku ulang-ulang seperti mantera yg akan menyelamatkanku. Tiba-tiba gerakkan tangannnya terhenti, saat terdengar suara ketukkan pintu diluar yg memanggil namaku.
"Kita kedatangan tamu rupanya," Ia menutup kembali pintunya sehingga aku menghela nafas lega. Fiuuh!
Tapi tunggu dulu! Bukankah itu suara Mas Aji. Astaga! Untuk apa dia datang lagi. Kenapa ia harus datang di waktu yg tidak tepat. Ini sama saja dia seperti mengantarkan nyawanya sendiri.
Antara takut dan bimbang. Aku berada diantara dua pilihan. Jika aku keluar sekarang, itu sama saja dengan menyerahkan nyawaku pada setan sialan itu. Namun jika aku tetap bersembunyi, kemungkinan nyawa Mas Aji dalam bahaya. Tak ada jaminan aku akan selamat. Ini seperti makan buah simalakama. Aku keluar, aku mati! Aku tidak keluar, aku tetap mati! Tidak ada pilihan sama sekali!
Aku keluar dari persembunyian untuk menyelamatkan laki-laki itu. Aku tak ingin sesuatu hal yg tak ku inginkan terjadi. Ia adalah orang yg baik dan tak ada sangkut pautnya dengan semua ini.
Mendadak telingaku menangkap suara teriakkan dan rintihan seperti kesakitan yg amat sangat sakit. Apa sebenarnya yg Rida lakukan hingga Mas Aji memekik seperti itu.
Aku tertegun dengan mata terbelalak, aku terlalu shock dengan pemandangan yg terpampang jelas didepanku. Laki-laki itu terbaring di lantai meringis menahan sakit. Tangannya memegang paha yg berlumuran dan bercucuran darah segar. Hingga lantai yg tadinya putih itu telah berubah warna menjadi merah pekat.
"Mas Aji !" Mulutku berteriak histeris. Rida menoleh ke arahku. Ia mencabut pisau yg masih tertancap di paha laki-laki itu. Hingga lagi-lagi ia memekik kesakitan.
"Kenapa kamu menyakitinya, huh?!! Dia tidak ada sangkut pautnya dengan ini," teriakku disela-sela isakkan.
"Aku tidak suka kalau kesenanganku diganggu. Dia pantas mendapatkan ini," Gumamnya sambil memegang pisau yg telah penuh dengan noda merah.
"Kamu gila!!" Teriakku.
Rida berdiri dan tertawa penuh kesenangan. Cih! Baru kali ini aku benci mendengar suara tawa temanku yg satu ini. Ia berjalan ke arahku dengan seringaian yg menghiasi wajahnya. "Cha lari!!" Mas Aji berteriak padaku disela-sela erangannya.
Seperti terhipnotis. Tubuhku hanya mematung. Aku tak bergerak sedikitpun. "Cha cepat lari!!" Lagi-lagi Mas Aji memerintahku. Tapi tubuhku tak bergerak. Rida semakin dekat. Tinggal sedikit lagi. Lalu,
Bugh!
Rida terkapar! Sebuah hantaman keras ku daratkan di tubuhnya. Aku memukulnya dengan tongkat yg kusembunyikan dibelakang tubuhku tadi. Kakiku segera berlari menuju Mas Aji yg sedang terluka.
"Kenapa kamu balik lagi kesini, mas!"
"Tantri menelponku. Ini malam 14" ucapnya menahan sakit.
"Seharusnya kamu tidak datang menyelamatkanku. Tapi ayo cepat, lebih baik kita keluar dari sini!" Gumamku seraya membantunya berdiri. Tapi tiba-tiba telingaku menangkap isakkan tangis Rida.
"Cha, sakit. Kenapa elo mukul gw," ia terisak. Bahasanya telah kembali seperti dulu. Yg selalu memakai elo-gw. Bukannya aku-kamu seperti tadi. Mungkinkah Rida telah sadar. Aku tidak tahu kenapa, tapi tangisannya sungguh membuatku sedih dan merasa bersalah.
"Mas sebentar!" Kataku.
"Cha kamu jangan kesana," cegahnya.
Aku tak menghiraukan kata-katanya. Kakiku tetap melangkah walaupun otakku memerintahkanku untuk lari dan bukannya mendekat. aku sekedar ingin memastikan. Apakah itu benar-benar Rida. "Da, apa itu kamu? Apa kamu sudah kembali," aku berdiri tak jauh darinya. Aku sedikit enggan untuk lebih dekat.
"Sakit, Cha" ia terisak dengan wajahnya yg tertunduk. Akhirnya kuberanikan diri untuk mendekatinya. Namun saat aku berjongkok didepannya. Tiba-tiba...
JLEB..
"OCHA!!" Teriak Mas Aji.
Bibirku meringis menahan sakit. Saat sebilah pisau menancap di paha kiriku. Darah segar mengalir tanpa bisa kutahan. Dengan mudahnya aku tertipu olehnya.
Bibirku kembali meringis saat ia mencabut pisau itu yg di iringi deraian tawa yg menggema memenuhi ruangan. Aku memejamkan mata saat Rida mengayunkan kembali pisau ke arahku. Ternyata seperti inilah akhir hidupku.
Tapi tunggu! Kenapa tak ada rasa sakit. Aku coba membuka mata. Mataku terbelalak. Di depanku ada Mas Aji yg coba menahan pisau dengan tangannya. Hingga darah lagi-lagi bercucuran dari sela-sela jarinya.
"Cepat Lari!" Mas aji memerintahkanku. "Cepet lari Cha, mas sudah tak kuat!" perintahnya. Ia tersenyum ke arahku. Dengan terisak dan susah payah aku berdiri meninggalkannya dengan berat hati.
Kakiku berjalan pincang dengan perasaan campur aduk. Antara marah dan sedih. Aku memang bodoh. Kenapa aku berhasil ditipu olehnya. Andai saja aku tadi cepat-cepat keluar. Mungkin semuanya tidak akan seburuk ini.
Tanganku mengeluarkan sapu tangan dari saku celana, lalu mengikat kakiku untuk menghentikan pendarahan yg terus bercucuran. Jangan sampai aku mati sebelum menyelesaikan permainan ini. Atau pengorbanan Mas Aji akan sia-sia.
Tiba-tiba sebuah motor matic berhenti di depanku membuatku sedikit terkaget. "Tantri?!"
"Ayo cepat sebelum kita terlambat. Kita mesti selesaikan semuanya."
"Tapi Mas Aji?? Dia??" Gumamku tertahan.
"Tidak ada lagi waktu. Kita tak bisa kembali kesana. Kamu masih bisa bertahankan," tanyanya.
Aku menganggukkan kepalaku sebagai jawaban. Motor pun melaju menuju rumah angker. "Kamu tunggu disini aja, Cha. Biar aku yg masuk kedalam," gumamnya. Aku hanya menurut saja. Toh ,Aku juga tidak sanggup bila harus berjalan lagi. Bagaimana pun juga Tantri lebih paham apa yg musti dia cari.
Mataku memandang rumah ini dengan perasaan campur aduk. Semua memori kenangan buruk itu kembali. Tempat ini menyimpan kenangan buruk.
Tak berapa lama kemudian Tantri keluar dengan sebuah patung yg ia bawa. Patung itu berukuran setinggi lutut orang dewasa. Ia memiliki satu mata berukuran besar di wajahnya. Gigi yg runcing. Dan rambut menjuntai seperti rambut manusia pada umumnya.
Tantri segera meletakkan patung itu di tanah lalu menyiramnya dengan bensin yg baunya menyeruak menusuk hidung. Ia segera menyalakan korek api tapi...
"Hentikan!" Suara teriakkan yg kukenal menghentikkan aktifitas kami.
"Jangan berani-berani kamu membakarnya!
Tantri hanya menautkan alisnya. Lalu tersenyum ke arah wanita itu. Ia menjatuhkan korek itu jatuh tepat di atas patung hingga api pun melalapnya. Aku tidak tahu kenapa, mendadak Rida berteriak kesakitan. Ia merintih. Meraung- raung. Dan ia jatuh pingsan!
Orang-orang dengan pakaian serba hitam mulai meninggalkan pemakaman. Seseorang telah tidur dengan tenang di tempat peristirahatan terakhirnya. Di nisan itu terukir nama Aji setiawan Bin Hartanto. Ia meninggal dengan luka tusukkan ditubuhnya.
Paginya setelah peristiwa berdarah semalam, warga sekitar berkumpul di area rumah. Pihak yg berwajib juga datang dan memasang garis polisi. Mereka semua mencurigaiku bahwa akulah pelaku pembunuhan ini. Tentu saja aku membantahnya dengan keras. Toh mereka juga tak bisa menemukkan sidik jariku pada pisau yg digunakkan.
Yang menjadi tersangka sekarang adalah Rida. Karena mereka menemukkan sidik jarinya dipisau itu. Rida hanya terisak menangis. Ia bahkan tak tahu menahu dan tak ingat apapun sejak kejadian dirumah angker.
Aku dan Tantri coba menceritakan semua yg terjadi tentang peristiwa semalam. Dan Rida, ia hanyalah korban kerasukan. Mudah-mudahan mereka percaya dan membebaskannya menjadi tersangka. Tapi para polisi yg menyelidiki kasus ini, menganggap itu hanya bualanku saja. Berita kasus ini menjadi berita hangat di media, sebagian orang ada yg mempercayaiku tapi ada juga yg menganggapnya omong kosong.
Sore ini aku terbangun karena penciumanku terganggu oleh bau busuk. Dengan kaki yg pincang kakiku berjalan mencoba mencari sumbernya, namun tak bisa kutemukan. Hingga akhirnya tubuhku tersentak. Otakku mengingat sesuatu. Jangan-jangan??
Dengan gerakkan pelan, tanganku meraba luka itu. Aku seperti menyentuh sesuatu. Sesuatu yg berukuran Kecil dan kenyal. DEG! Astaga jangan-jangan ini adalah...
"Aaaaaaa!" Mulutku berteriak histeris saat kutemukan belatung-belatung yg bergerak.
TAMAT